Kamis, 05 Juli 2012

Peneliti Eropa Akhirnya Temukan Partikel Tuhan

TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Seorang ilmuwan menemukan partikel sub atom baru, yang menjadi dasar dari pembuatan alam semesta.
Seperti dilaporkan Reuters, Rabu (4/7/2012), setelah 40 tahun, ilmuwan European Organization for Nuclear Research (CERN), berhasil menemukan temuan yang disebut 'Partikel Tuhan'.
Temuan ini merupakan hal yang penting dalam meneniliti alam semesta. Dalam 'Partikel Tuhan', atom juga memiliki massa jenis.
Temuan ini memberikan pemahaman baru tentang atom, yang juga akan memberikan standar baru di dunia fisika, untuk menuntun pembentukan teknologi baru berdasarkan partikel ini.
"Hasil ini menandai terobosan signifikan dalam pemahaman kita tentang hukum-hukum dasar yang mengatur alam semesta," ujar John Womersley, Kepala Badan Penelitian Publik Inggris.
Temuan 'Partikel Tuhan' berdasarkan teori tentang alam semesta, yang diungkapkan ahli Fisika asal Inggris Peter Higgs, pada 1960.
Teori Higgs menjelaskan bagaimana partikel membentuk kelompok bersama untuk membentuk bintang, planet, dan kehidupan.
Meski senang dengan penemuan ini, peneliti tetap belum merasa puas, karena masih banyak rahasia alam lain yang belum terungkap.
"Kami masih banyak tidak tahu tentang partikel. Ini hanya awal dari sebuah perjalanan. Kami telah menutup satu bab dan membuka yang lain," tutur Peter Knight dari Institut Fisika Inggris.
Sebelumnya, CERN meneliti bagaimana alam semesta terbentuk, menggunakan mesin Large Hadron Collider (LHC), akselerator raksasa untuk membuat lubang hitam kecil dan jenis baru partikel.
Tujuan utama eksperimen untuk mengetahui bagaimana alam semesta terbentuk, setelah 'Big Bang' terjadi pada 13,7 miliar tahun lampau. (*)
»»  READMORE...

Sabtu, 16 Juni 2012

Isra' Mi'raj dan Teori Relativitas

Sejarah Islam mencatat peristiwa unik dan sulit dicerna akal, Isra dan Miraj. Secara istilah, Isra berjalan di waktu malam hari, sedangkan Miraj adalah alat (tangga) untuk naik. Isra mempunyai pengertian perjalanan Nabi Muhammad saw pada waktu malam hari dari Masjid Al Haram Mekkah ke Masjid Al Aqsha Palestina. Miraj adalah kelanjutan perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjid Al Aqsha ke langit sampai di Sidratul Muntaha dan langit tertinggi tenpat Nabi Muhammad saw bertemu dengan Allah swt. Isra’ Miraj adalah kisah perjalanan Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dalam waktu semalam. Prosesi sejarah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad termaktub dalam QS. 17.Al-Isra’ :1 yang berbunyi
“Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17.Al-Isra’ :1)
Dan tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18:
“Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm:13-18)
Rasulullah SAW melihat secara langsung.
 

Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Rasulullah SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 13 diatas, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak musti secara langsung. Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung.
Mengenai pemahaman tentang Isra’ Mi’raj banyak kaum muslim yang masih memiliki perbedaan pandangan secara mendasar, yang terbagi dalam:
Pemahaman dgn beranggapan peristiwa Isra’ Mi’raj hanyalah sekedar perjalanan ruh, spiritual atau metaphor journey Nabi Muhammad SAW tidak dengan jasad fisik. Pemahaman ini berpegang kepada surah Al Quran : QS. 17 Al-Isra’ : 60 “…Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu adalah sebagai ujian bagi manusia…”
Sebaliknya ada yang berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Bait’l-Maqdis itu dengan jasad atau physical journey. Sedang mi’raj ke langit adalah dengan ruh atau metaphor journey.
Pemahaman lain menyatakan bahwa Isra’ Mi’raj adalah perjalanan dengan jasad (fisik) dan dapat dijelaskan dalam ilmu yang dipahami manusia karena merupakan peristiwa nyata.

Pemahaman secara fisik (physical journey).

ISRA`MI`RAJ, sebagai sebuah peristiwa metafisika (gaib), barangkali bukan sesuatu yang istimewa. Kebenarannya bukanlah sesuatu yang luar biasa. Kebenaran metafisika adalah kebenaran naqliyah (: dogmatis) yang tidak harus dibuktikan secara akal, namun lebih bersifat imani. Valid tidaknya kebenaran peristiwa metafisika—secara akal, bukanlah soal selagi ia diimani.
Didalam pemahan secara fisika banyak orang mempertanyakan ke-shahih-an Isra` Mi`raj;  “ apakah mungkin manusia melakukan perjalanan sejauh itu hanya dalam waktu kurang dari semalam?” . Kaum kafirpun telah menantang Rasulullah seperti  diberitakan dalam Al Quran dalam surat  Al-Israa: 93.
“Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca”. Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?”
Dan  didalam Hadith
“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).dan banyak Hadith hadith lainnya.

Hubungan  antara peristiwa perjalanan Isra’ Mi’raj dengan  teori relativitas.

Diantara keduanya terdapat faktor persamaan dan perbedaan didalam proses kejadian, persamaan kedua kisah antara lain:
  • Keduanya  membahas  perihal  perjalanan atau journey dari Bumi ke luar angkasa lalu kembali ke Bumi.
  • Keduanya  membahas  penggunaan  faktor “Speed” atau “kecepatan”  tinggi  didalam  pemberitaannya
  • Konsep mengenai perpisahan antara  dua manusia (atau lebih) digunakan sebagai bahan pokok  atau object pembahasan didalam kedua cerita.
Dalam Isra Miraj, Rasulullah meninggalkan kaumnya di bumi untuk bepergian ke ke Majidil Aqsha  lalu ke Langit ketujuh, dalam kasus teori relativitas menceritakan tentang dua saudara kembar A dan B, dimana saudara kembar B bepergian keluar angkasa.
Sampai disini dari hal hal tersebut diatas, kita  sudah dapat mengambil kesimpulan secara gamblang,  bahwa peristiwa Isra Miraj adalah benar. Bagaimana mungkin seorang  manusia  yang ummi  14 Abad yang silam dapat membuat sebuah cerita atau teori yang dapat dibuktikan didalam abad ke 20 dengan sedemikian detailnya. Dengan kata lain tidak mungkin Rasulullah  SAW mencontoh teori Albert Einstein yang lahir sesudahnya (?).

Teori Relativitas.

Theori Relativitas membahas mengenai Struktur Ruang dan Waktu serta mengenai hal hal yang berhubungan dengan Gravitasi. Theori relativtas terdiri dari dua teori fisika, relativitas umum dan relativitas khusus. Theori relativitas khusus menggambarkan perilaku ruang dan waktu dari perspektif pengamat yang bergerak relatif terhadap satu sama lain, dan fenomena terkait. Sala artikel ini hanya dibahas theori relativitas khusus dan Efek yg  disebut dilatasi waktu (dari bahasa Latin: dilatare “tersebar”, “delay”).
Einstein merumuskan teorinya dalam sebuah persamaan mathematik:
t’ = waktu benda yang bergerak
t = waktu benda yang diam
v = kecepatan benda
c = kecepatan cahaya
Diterangkan bahwa perbandingan nilai kecepatan suatu benda dengan kecepatan cahaya, akan berpengaruh pada keadaan benda tersebut. Semakin dekat nilai kecepatan suatu benda (v) dengan kecepatan cahaya (c), semakin besar pula efek yang dialaminya (t`): perlambatan waktu. Hingga ketika kecepatan benda menyamai kecepatan cahaya (v=c), benda itu pun sampai pada satu keadaan nol. Demikian, namun jika kecepatan benda dapat melampaui kecepatan cahaya (v>c), keadaan pun berubah. Efek yang dialami bukan lagi perlambatan waktu, namun sebaliknya waktu menjadi mundur (-t’).

Kisah perjalanan Si Kembar atau  dibatasi waktu.

Twin Paradox adalah suatu theori hasil pemikiran (Gedankenexperiment atau thought experiment) oleh Albert Einstein berbasis theori relativitas khusus yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan para pakar fisika. Theori tersebut secara keseluruhan menggambarkan kisah perjalanan dua saudara kembar yang berpisah. Salah seorang dari saudara kembar (A) tersebut tinggal di Bumi dan saudara kembar lainnya (si traveler(B)) terbang keluar angkasa kesebuah planet di tata surya yang jauh dengan kecepatan cahaya dan kembali kebumi dengan kecepatan yang sama. Setelah mereka bertemu kembali dibumi mereka menemukan fakta bahwa umur si kembar yang mengadakan perjalanan (si traveler) lebih muda daripada umur saudaranya (A) yang tetap tinggal dibumi, disebabkan si traveler mengalami phenomenon time dilation atau fenomena dilatasi waktu  dalam perjalanannya.
Time dilation (dilatasi waktu) adalah fenomena, dimana seorang Observer disatu titik melihat, bahwa jam dari orang yang bergerak dengan cepat menjadi lebih lambat (atau cepat), sebenarnya hal tersebut tergantung dari frame of reference dimana dia berada. Time dilation dapat di ketahui hanya apabila kecepatan mengarah kepada kecepatan cahaya dan sudah dibuktin secara akurat dengan unstable subatomic particle dan precise timing of atomic clocks.

Pembuktian teori relativitas.

Studi tentang sinar kosmis merupakan satu pembuktian teori ini. Didapati bahwa di antara partikel-partikel yang dihasilkan dari persingungan partikel-partikel sinar kosmis yang utama dengan inti-inti atom Nitrogen dan Oksigen di lapisan Atmosfer atas, jauh ribuan meter di atas permukaan bumi, yaitu partikel Mu Meson (Muon), itu dapat mencapai permukaan bumi. Padahal partikel Muon ini mempunyai paruh waktu (half-life) sebesar dua mikro detik yang artinya dalam dua perjuta detik, setengah dari massa Muon tersebut akan meleleh menjadi elektron. Dan dalam jangka waktu dua perjuta detik, satu partikel yang bergerak dengan kecepatan cahaya (± 300.000 km/dt) sekalipun paling-paling hanya dapat mencapai jarak 600 m. padahal jarak ketinggian Atmosfer di mana Muon terbentuk, dari permukaan bumi, adalah 20.000 m yang mana dengan kecepatan cahaya hanya dapat dicapai dalam jangka minimal 66 mikro-detik. Lalu, bagaimana Muon dapat melewati kemustahilan itu? Ternyata, selama bergerak dengan kecepatannya yang tinggi—mendekati kecepatan cahaya, partikel Muon mengalami efek sebagaimana diterangkan teori Relativitas, yaitu perlambatan waktu.
Pembuktian selanjutnya terjadi pada tahun 1971,  perbedaan waktu (time dilation) di twin paradox theori tersebut telah dibuktikan melalui “Hafele-Keating-Experiment” dengan menggunakan 2 buah jam yang berketepatan tinggi (High precision Cesium Atom clocks) yang di set awal pada waktu yang sama.
Experiment tersebut menghasilkan perbedaan waktu pada kedua jam tersebut, antara jam yang diletakkan di pesawat Intercontinental yang bergerak terbang kearah timur / barat dengan jam referensi yang diletakkan di U.S. Naval Observatory di Washington, waktu jam di pesawat berkurang/bertambah tergantung dari arah penerbangan.
Relativ terhadap jam di Naval Observatory, jam dipesawat berkurang waktu 59+/-10 nanoseconds dalam penerbangan ketimur, dan mengalami pertambahan waktu 273+/-7 nanosecond pada penerbangan ke barat. Hasil empiris tersebut membuktikan theori twin paradox dalam tingkatan jam macroskopik.
Dengan adanya pembuktian pembukatian tersebut, berarti  Albert Einstein dengan teori relativitasnya secara langsung atau tidak langsung telah membuktikan bahwa kisah Al Quran tentang kisah  “perjalanan  Rasulullah SAW kelangit ketujuh dan kembali dalam satu malam” adalah benar.   Terutama dalam segi dimensi WAKTU,  dalam perhitungannya memungkinkan.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana dengan Nabi Isa AS, ummat Islam mempercayai bahwa Nabi Isa, yang diakui sebagai Yesus oleh penganut Kristen, memang tidak dibunuh oleh orang-orang yang mengejarnya ketika itu. Bahkan beliau belum wafat. Nabi Isa akan kembali diakhir jaman, Apakah Nabi Isa juga mengalami perjalanan dan dilatasi waktu serupa? Wallahu ‘alam bish shawwab.

Applikasi Teori Relativitas.

Salah satu aplikasi teori tersebut adalah alat GPS – Global Postioning System di Handphone anda merupakan applikasi hasil dari  theory relativitas umum dan relativitas khusus. Dalam hal ini jam satellite di orbit di bandingkan dengan jam di darat sebagai faktor koreksi pengiriman signal.
Akhirul kalam, saya menganggap bahwa pengetahuan akan adanya dilatasi waktu antar galaksi adalah suatu fenomena menarik bagi kaum muslimin. Fenomena inipun banyak terjadi pada peristiwa sehari-hari dan bahkan dipelajari oleh ilmuwan barat untuk mempelajari peristiwa di alam raya. Dan mestinya bukanlah sesuatu yang dilarang atau berlebihan untuk lebih memahami fenomena di alam. Untuk selanjutnya yang kita tunggu adalah adanya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan untuk dapat mengungkapkan desain dari black hole dan wormhole yang gabungan keduanya mirip bentuk teratai (Sidrah atau Sidratul, dan bentuk otak pada tubuh manusia. Sehingga semua ini mudah-mudahan dapat meningkatkan ketakwaan kita dihadapan sang Pencipta.
Pustaka:
    A New Astronomical Quranic Method for The Determination of The Greatest Speed C).
    Die Spezielle Relativitätstheorie.
Assalamulaikum warochmatullahi wabarokatu.
»»  READMORE...

Sabtu, 09 Juni 2012

Minang dan Kerajaan Malayu


Di antara sungai-sungai besar yang mengalir di Sumatera, Batanghari merupakan sungai yang mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang. Sungai ini merupakan sungai terpanjang yang masuk sampai ke daerah pedalaman Sumatera Barat. Di daerah pedalaman ini terdapat ranting-ranting sungai Batanghari yang berhulu di daerah kaki dan lereng pegunungan Bukit Barisan, antara lain di Gn. Singgirik (+1.913 meter), Gn. Rasam (+2.505 meter), Gn. Manderusah (+2.000 meter), dan Gn. Hulujuhan (+1.382 meter). Ada juga yang berhulu di Danau Diatas dan Danau Kerinci. Ranting Batanghari yang berhulu di Danau Diatas adalah S. Gumanti; di Gn. Hulujuhan adalah Batang Tebo, Batang Ulas, dan Batang Bungo; dan yang berhulu di Danau Kerinci adalah Batang Tabir dan Batang Merangin. Ranting-ranting dan cabang-cabang sungai tersebut setelah melewati Sungaidareh, Sitiung, Kotabaringin, Teluk­kayu­putih, Telukkuali, Muara Tebo, Muara Tembesi, Muara Bulian, Bayubang, dan Jambi men­jadi Batanghari. Di daerah Simpang, Batanghari kemudian bercabang menjadi Sungai Niur yang mengalir ke arah baratlaut, dan Sungai Berbak yang mengalir ke arah timurlaut kemudian keduanya bermuara di Selat Berhala.

Di antara rangkaian pegunungan Bukit Barisan ada celah (pass) yang menghu­bungkan antara satu tempat dengan tempat lain. Melalui celah ini manusia dapat menuju ke satu tempat tanpa mengalami kesulitan pendakian. Celah yang menghubungkan wilayah Tanah Datar dan Batanghari melalui tempat-tempat Muara, Sijunjung, Timbulun, Tanjunggadang, Bukitsabalah, dan Sungai Langsat. Sebelumnya dapat melalui Batang Selo yang mengalir membelah wilayah Tanah Datar.

1. Babakan Sejarah

Wilayah Kerajaan Malayu Kuna secara geografis terletak di sekitar daerah aliran Sungai Batang­hari yang meliputi Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat; di sekitar Kabupaten Tanah Datar (Pagarruyung); dan di sekitar daerah aliran sungai Rokan, Kampar, dan Indragiri di wilayah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau. Di beberapa tempat, di tepian sungai Batanghari banyak ditemukan situs arkeologi, mulai dari daerah hilir (di wilayah Provinsi Jambi) hingga daerah hulu (di wilayah Provinsi Sumatera Barat), antara lain Muara Sabak, Koto Kandis, Situs di daerah pertemuan Sungai Batanghari dan Sungai Kumpeh (Ujung Plancu, Suakkandis, dan Sematang Pundung), Muara Jambi, dan Solok Sipin (Jambi) di wilayah Provinsi Jambi; dan Situs Padanglawas, Ram­bahan, Pulau Sawah, Bukik Awang Maombiak, dan Padangroco di wilayah Provinsi Sumatera Barat.

Berdasarkan identi­fikasi unsur pertanggalan yang diperoleh dari paleografi tulisan-tulisan singkat pada lempeng emas di Candi Gumpung (Boechari 1984:9; 1985: 237–38), tulisan singkat pada batu pipisan dari Koto Kandis (Bambang Budi Utomo 1990:148), tulisan singkat pada arca makara dari Solok Sipin (Boechari 1979:28), dan pecahan keramik (Bambang Budi Utomo 1990:148) menunjukkan pertanggalan sekitar abad ke-8–11 Masehi. Unsur pertanggalan situs tersebut terletak di daerah hilir Batang­hari. Unsur pertanggalan yang lebih muda ditemukan di situs-situs di hulu Batanghari berasal dari sekitar abad ke-13-14 Masehi. Unsur pertanggalan ini diperoleh pada Prasasti Dharmasraya dari Padangroco yang menunjukkan angka tahun 1286 Masehi (Moens 1924), Prasasti Amoghapasa dari Rambahan menunjukkan angka tahun 1347 Masehi (Kern 1917), dan pecahan keramik dari situs Rambahan, Pulau Sawah, Siguntur, dan Padangroco menunjukkan pertanggalan abad ke-13-14 Masehi (Bambang Budi Utomo 1992).

Pertanggalan situs tersebut menunjukkan kepada kita bahwa di daerah Batang­hari pada Masa Klasik Indonesia telah terdjadi pergeseran permukiman. Permukiman yang tua berlokasi di daerah hilir Batanghari, sedangkan permukiman yang muda berlokasi di daerah hulu Batanghari di wilayah Sumatera Barat. Dalam sejarah Batang­hari, di wilayah ini pernah ada dua kerajaan besar yang berpengaruh di belahan barat Nusantara. Kedua kerajaan itu adalah Malayu dan Sriwijaya yang tumbuh dan berkem­bang pada waktu yang bersamaan. Dari Berita Tionghoa yang ditulis oleh I-tsing disebutkan bahwa suatu saat (sekitar tahun 670-an) Malayu pernah menjadi bagian dari Sriwijaya (Groeneveldt 1960). Setelah Sriwijaya melemah, Malayu kemudian merdeka kembali.

Berdasarkan Berita Tionghoa tersebut, Hasan Djafar (1992:77) membagi Malayu dalam tiga fase, yaitu:

Fase I

Fase Awal, sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi;

Fase II

Fase Pendudukan oleh Sriwijaya, sekitar tahun 680 sampai seki­tar per­tengahan abad ke-11 Masehi;

Fase III

Fase Akhir, sekitar pertengahan abad ke-11 sampai sekitar akhir abad ke-14 Masehi.

Ketiga fase tersebut mengacu kepada perjalanan sejarah Kerajaan Malayu Kuna, tetapi tidak menjelaskan lokasi pusat pemerintahannya. Sebagai­mana telah dikemukakan bahwa lokasi geo­grafis Malayu ada di daerah Batanghari. Beberapa pakar berpendapat bahwa pusat Malayu Kuna pada Fase Awal berlokasi di sekitar Kota Jambi sekarang (Slametmulyana 1981:30-42; Irfan 1983:94-102). Pendapat ini didasarkan atas asumsi bahwa pusat kerajaan adalah juga merupakan pelabuhan Malayu. Pelabuhan Malayu yang lokasinya di tepi Batanghari sangat baik untuk pelabuhan sungai. Sungai Batanghari yang yang panjangnya sekitar 800 km, lebarnya sekitar 500 meter dan keda­lamannya lebih dari 5 meter cukup baik untuk pelayaran sungai. Panjang sungai dapat dilayari perahu atau kapal besar adalah sekitar 600 km. Selebihnya hanya dapat dilayari perahu kecil.

Di dalam kitab Sejarah Dinasti T‘ang (abad 7-10 Masehi), untuk pertama kali­nya disebutkan datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke Cina pada tahun 644-645 Masehi (Pelliot 1904:324 dan 334). Toponim Mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Malayu yang letaknya di pantai timur Pulau Sumatera, dan pusatnya di sekitar Jambi. Sementara itu, di dalam berita Arab dari jaman Kekhalifahan Muawiyah (661-681 Masehi) disebut nama negeri Zabag sebagai bandar lada terbesar di Sumatera bagian selatan. Toponim Zabag dapat diiden­tifikasikan dengan (Muara) Sabak, di daerah muara Sungai Batanghari.

Pada tahun 672 Masehi, dalam perjalanannya dari Kanton ke India, I-tsing singgah di Shih-li-fo-shih (=Sriwijaya) selama enam bulan untuk belajar tata-bahasa bahasa Sansekerta sebe­lum melanjutkan pelayarannya ke Chieh-cha (Kedah) dan menuju Nalanda (India) (Wheatly 1961:41-42). Dari Shih-li-fo-shih kemudian ia singgah di Mo-lo-yeu selama dua bulan, untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke India. Selanjutnya, I-tsing menuliskan bahwa sekemba­li­nya dari Nalanda, pada tahun 685 Masehi ia singgah di Mo-lo-yeu yang sekarang menjadi Fo-she-to. Oleh karena I-tsing meninggalkan Nalanda pada tahun 685 Masehi, pendudukan Malayu oleh Sriwijaya berlangsung antara tahun 671 Masehi, ketika ia mening­galkan Sriwijaya dan tahun 688/689 Masehi ketika ia datang lagi ke Sriwijaya. Berita I-tsing tersebut sesuai dengan isi Prasasti Karangberahi yang ditemukan di tepi Sungai Merangin, anak Batanghari di daerah hulu, menyebutkan tentang persumpahan bagi yang tidak mau tunduk kepada Kadatuan Sriwijaya. Kedua data ini menginformasikan kepada kita bahwa pada waktu itu Malayu telah ditaklukan dan diduduki oleh Sriwijaya sampai sekitar abad ke-13 Masehi. Pendudukan Sriwijaya atas Malayu dianggap penting karena dengan menduduki Malayu, Sriwijaya dapat menguasai bandar-bandar yang ada di sekitar Selat Melaka. Hal yang sama dilakukan juga ke daerah lain, misalnya ke Kota Kapur (Bangka), Bhumi Jawa, serta Palas dan Jabung (Lampung). Dengan menduduki daerah-daerah ini Sriwi­jaya tidak perlu memindahkan ibukotanya yang ada di Palembang.

Di dalam sebuah Berita Tionghoa disebutkan bahwa pada tahun 853 dan tahun 871 Masehi, Chan-pi mengirim misi dagang ke Tiongkok (Wolters 1974: 144). Dalam catatan Ling piao lu i yang ditulis dalam tahun 889-904 Masehi, disebutkan Pi-chan (Chan-pi) menghasilkan sejenis kacang-kacangan yang bentuknya seperti bulan sabit. Orang-orang Hu mengum­pulkannya dan diberikan kepada pegawai Tiongkok sebagai curiosities (Wolters 1974:144). Menurut Wolters, toponim Chan-pi atau Pi-chan dapat diidentifikasikan dengan Jambi sekarang.

Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti Song (960-1279 Masehi) menyebut­kan sebuah kerajaan di Sumatera yang bernama San-fo-t‘si. Diuraikan bahwa kerajaan itu terletak di Laut Selatan di antara Chen-la (=Kamboja) dan She-po (=Jawa). Ibukota ke­ra­ja­an di mana raja bersemayam terletak di Chan-pi. Rakyatnya berdiam di rakit-rakit yang ditambatkan di tepian sungai, sedangkan para pembesar kerajaan berdiam di darat­an. Atap rumah tinggal di rakit-rakit dibuat dari ilalang (Hirth dan Rockhill 1967:62).

Kita mempunyai dua nama untuk menyebut kerajaan di Sumatera yang keduanya mengacu kepada nama Sriwijaya. Kedua nama itu adalah Shih-li-fo-shih dan San-fo-tsi. Nama Shih-li-fo-shih dikenal oleh para pakar sejarah dan arkeologi sebagai nama dari Kadatuan Sriwijaya sebe­lum abad ke-9 Masehi dengan pusatnya di Palembang. Setelah Sriwijaya memin­dahkan ibukotanya ke Jambi, penyebutannya berubah menjadi San-fo-tsi. Masalahnya, bagai­mana halnya dengan Malayu. Untuk nama kera­jaan ini Berita Tionghoa telah menyebutkannya dengan nama Mo-lo-yeu, seperti yang diberitakan oleh I-tsing. Antara Malayu dan Sriwijaya agak­nya terjadi persaingan, dimana kerajaan yang terlebih dahulu ada adalah Malayu, yaitu pada tahun 644-645 Masehi. Keber­adaan kerajaan ini sudah diakui dengan diterimanya utusan ke Tiongkok.

Masa pendudukan Sriwijaya agaknya berlangsung cukup lama, mulai dari abad ke-7 sampai abad ke-11 Masehi. Tetapi selama masa itu, ada juga masa di mana Sriwijaya agak “lengah”. Kesempatan itu diguna­kan untuk mengirimkan duta ke Tiongkok. Berdasarkan catatan Tiongkok, Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 853 dan 871 Masehi (Wolters 1970:41-42). Namun tindakan ini segera diketahui Sriwijaya. Oleh sebab itulah, maka pada tahun 905 Masehi raja Sriwijaya mengirimkan duta ke Tiongkok dan menegaskan bahwa duta yang datang pada tahun 853 dan 871 Masehi adalah “pemimpin dari Chan-pi” (Groeneveldt 1960:64).

Kronik Istana Kerajaan Pagan dari abad ke-12 Masehi menyebut­kan adanya hubungan bilateral antara Kera­jaan Pagan dengan Kerajaan Malayu. Raja Pagan mengi­rim pendeta Buddha untuk menterjemahkan naskah-naskah agama Buddha atas perintah raja Malayu. Pendeta ini kemudian mengawini putri raja dan tinggal di istana Malayu (Adhyatman 1990: 103).

Di antara Kerajaan Malayu dan Sriwijaya selalu terjadi persaingan dan satu sama lain saling mendominasi. Suatu saat, ketika Sriwijaya lengah, Malayu bangkit kem­­­bali dengan mengi­rim­kan utusannya ke Tiongkok. Misalnya pada sekitar pertengahan abad ke-11 Masehi, ketika Sriwijaya lemah sebagai akibat dari serangan Cola, Malayu memanfaatkan kesempatan untuk bangkit kembali. Sebuah prasasti yang dite­mukan di Srilanka menyebut­kan, bahwa pada masa pemerintahan Vijayabahu di Sri­lanka (1055-1100 Masehi), Pangeran Suryanarayana di Malaya­pura (Malayu) berhasil memegang tampuk pemerintahan di Swarnnapura (Sumatera) (Wolters 1970:92-93). Kronik Tiongkok, Ling-wai-tai-ta, menye­but­kan bahwa pada tahun 1079, 1082 dan 1088, negeri Chan-pi di San-fo-tsi mengirimkan utusan ke negeri Tiongkok (Hirth & Rockhill 1911:66).

Malayu merupakan sebuah kerajaan yang dianggap penting. Eksis­tensi kerajaan ini selalu diakui oleh berbagai kerajaan. Sebuah kerajaan besar di Nusantara akan selalu mem­perhitungkan keberadaan kerajaan Malayu, seperti misalnya Sriwijaya dan Maja­pahit.

Dalam Kakawin Nagarakrtagama Pupuh XIII:1 dan 2 (Pigeaud 1960) disebutkan:

1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Malayu: Jambi dan Palemba?, Karitan, Teba, dan Dharmas­raya pun juga ikut disebut, Kandis, Kahwas, Manankabwa, Siyak, Rkan, Kampar dan Pane, Kampe, Harw, dan Man­dahilin juga, Tumiha?, Parlak dan Barat.

2. Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampu? dan Barus. Itulah terutama negara-negara Malayu yang telah tunduk.

Kakawin Nagarakrtagama menyebutkan Malayu lebih dahulu dan me­nye­butkan sebagai sebuah negara terpenting dari seluruh negara bawahan Majapahit. Wilayah kekuasaan kera­jaan ini meliputi seluruh daratan Sumatera, dari ujung baratlaut hingga ujung tenggara. Beberapa daerah yang merupakan “bawahan” Malayu seperti misal­nya Jambi, Dharmasraya, Kandis, dan Manankabwa berlokasi di daerah Sungai Batanghari. Karena disebutkan yang pertama, agaknya Jambi merupakan tempat yang penting. Pada waktu itu mungkin meru­pakan sebuah bandar penting dan bekas ibukota kerajaan. Pada masa Majapahit, ibukota Kerajaan Malayu sudah berlokasi di Dharmasraya yang lokasinya di hulu Batanghari.

Setelah lepas dari Sriwijaya, Malayu tetap diperhi­tungkan seba­gai sebuah kerajaan yang memegang peranan penting. Pada waktu Malayu sudah merdeka, Kerajaan Sinhasari di Jawa sedang ber­selisih dengan Mongol di daratan Tiongkok. Bahkan Sinhasari sedang meng­hadapi ancaman penyerbuan tentara Mongol. Untuk tidak mem­per­banyak musuh, Sinhasari dengan rajanya Krtanagara berkeinginan menjalin per­sa­habatan dengan Malayu. Besarnya perhatian Krtanagara kepada Malayu mem­buk­tikan bahwa pada abad ke-13 Masehi Kerajaan Malayu merupakan negara utama di Sumatera. Untuk itulah, maka pada tahun 1275 Sinhasari meng­adakan ekspedisi pamalayu. Pararaton menye­­butkan:“Setelah musuh ini mati, menyuruh pasu­kan-pasukan berperang ke tanah Malayu“ (Pitono 1965:37). Itulah sebabnya banyak para sarjana berpendapat bahwa ekspedisi pamalayu berarti pendudukan atas Malayu .

Berita tertulis yang penting mengenai keberadaan lokasi pusat Malayu di hulu Batanghari kita peroleh dari dua buah prasasti, yaitu Prasasti Dharmasraya yang ber­angka tahun 1286 Masehi dan Prasasti Amoghapasa yang berangka tahun 1347 Masehi. Selain itu ada prasasti-prasasti lain yang ditemukan di daerah pedalaman Sumatera Barat (Pagar­ruyung dan Batusangkar).

Prasasti Dharmasraya menyebutkan bahwa pada tahun 1286 Masehi sebuah arca Amoghapasa dengan keempatbelas pengiringnya dan saptaratna dibawa dari Bhumijawa ke Swarnnabhumi untuk ditem­patkan di Dharmasraya sebagai punya Sri Wiswarupaku­mara. Peja­bat tinggi kera­jaan yang diperintahkan oleh Sri Maharajadhiraja Krtanagara untuk mengi­ring­kan arca tersebut ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwaya­brahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Ha? Dipangkaradasa, dan Rakryan Dmu? Pu Wira. Seluruh rakyat Malayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya, ialah Srimat Tribhuwana­raja Mauliwarm­madewa (Hasan Djafar 1992:56–8).

Isi prasasti tersebut jelas memberikan informasi kepada kita bahwa penguasa Malayu pada waktu itu adalah Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa, dan berke­dudukan di Dharmasraya. Lokasi Dharmasraya ini ada di sekitar daerah Sawahlunto-Sijunjung di Kampung Ram­bahan, tempat di mana prasasti ini ditemukan pada sekitar tahun 1880-an (Krom 1912:48). Di sekitar daerah ini ditemukan juga beberapa kelompok bangunan candi yang terdapat di beberapa lokasi, yaitu Padanglawas, Padangroco, Pulau Sawah, Siguntur, Bukik Awang Maombiak, dan Rambahan (Bambang Budi Utomo 1992).

Ekspedisi Pamalayu oleh beberapa sarjana ditafsirkan sebagai pendudukan atau penguasaan atas Malayu. Namun berdasarkan isi Prasasti Dharmasraya tidak ada petunjuk pendu­dukan Sinhasari atas Malayu, seperti tercantum dalam kalimat “Seluruh rakyat Malayu dari keempat kasta bersukacita, terutama rajanya Srimat Tribhuwa­na­raja Mauliwarmmadewa.” Arca Amoghapasa yang dikirimkan oleh Krtanagara ditemukan kembali di Rambahan yang letaknya sekitar 4 km. ke arah hulu dari Padangroco. Meskipun ditemukan terpisah, namun berdasarkan isi Prasasti Dharmasraya yang dipahatkan pada bagian lapik arca, arca Amoghapasa yang ditemukan di Rambahan ternyata merupakan pasangannya.

Arca Amoghapasa yang ditemukan di Rambahan pada sekitar tahun 1800-an (Krom 1912:48) memberikan pentunjuk kepada kita bahwa pada tahun 1347 yang berkuasa di daerah Malayu adalah Sri Maharaja Adityawarmman, upacara yang bercorak tantrik, pembuatan se­buah arca Buddha, dan pemujaan kepada Jina. Informasi yang terdiri dari 27 baris itu dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapasa yang dikirim oleh Krtanagara. Berdasarkan isi prasasti ini para sarjana ber­anggapan bahwa pada tahun 1347 merupakan tahun awal pemerin­tahan Aditya­warm­man di Malayu.

Prasasti lain yang jelas-jelas menyebutkan perpindahan pusat pemerintahan adalah Prasasti Gudam. Berdasarkan informasi dari prasasti ini, de Casparis menduga bahwa yang me­min­dahkan pusat kekuasaan ke daerah Batusangkar adalah Akarendra­warman, raja Malayu pen­dahulu Adityawarmman (1989 dan 1992). Pada sekitar tahun 1340-an, di daerah Batu­sangkar dan Pagarruyung memerintah seorang raja yang ber­nama Adityawarmman. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah terse­but, misal­nya Prasasti Kuburajo I dikatakan bahwa Adityawarmman memerintah di kanakamedi­nindra (=raja pulau emas) (Kern 1917:219). Pada tahun 1347, berdasarkan isi Prasasti Amoghapasa Adityawarmman mengangkat dirinya menjadi seorang maharajadhiraja dengan gelar Sri Udayadityawarmman atau Adityawar­modaya Pratapaparakramarajen­dra Mauliwarmadewa.

Berdasarkan data prasasti dan pertanggalan situs di daerah Batanghari, Keraja­an Malayu sekurang-kurangnya telah mengalami tiga kali pemindahan pusat pemerin­tah­an. Pusat­nya yang pertama berlokasi di sekitar kota Jambi sekarang, pusat yang kedua di daerah Padangroco, dan pusat yang ketiga di daerah Pagarruyung. Para sarjana menduga bahwa pemindahan pusat pemerintahan ini disebabkan karena ancaman dari musuh, terutama musuh yang datang dari Jawa melalui Sungai Batanghari. De Casparis menduga bahwa Malayu pada masa akhir mendapat ancaman dari kerajaan yang bercorak Islam di Samudra Pasai yang juga datang melalui Batanghari (1992). Unsur ancaman dari negara tetangga memang ada, tetapi dalam hal ini saya lebih condong untuk menyatakan bahwa alasan pemindahan pusat pemerin­tahan itu adalah untuk penguasaan sumber emas yang banyak terdapat di daerah pedalaman. Di samping itu, secara geografis daerah pedalaman di Batusangkar dan Pagarruyung dekat dengan jalan air yang lain, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Jika diban­dingkan dengan Sungai Batanghari, muara kedua sungai ini lebih dekat dengan Selat Melaka. Emas dari daerah pedalaman kemudian dipasarkan keluar Malayu melalui sungai-sungai ini.

Mengenai perpindahan pusat kerajaan ini, atau setidak-tidaknya perpindahan permu­kiman tampak dari pertanggalan situs, Berita Tionghoa dan berita prasasti. Situs-situs arkeologi yang ditemukan di daerah Batang­hari, mulai dari daerah hilir sampai ke daerah hulu menun­jukkan suatu pertanggalan yang berbeda. Situs di daerah hilir menunjukkan pertang­galan yang tua, seperti misalnya situs Koto Kandis berasal dari sekitar abad ke-8-13 Masehi dan Muara Jambi berasal dari sekitar abad ke-8-13 Masehi. Di daerah hulu Batanghari menunjukkan pertanggalan yang lebih muda, yaitu dari sekitar abad ke-13-14 Masehi. Berita Tionghoa Ling piao lu i (889-904 Masehi) menyebutkan Pi-chan (=Jambi) mengirim misi dagang ke Tiongkok, sedangkan Kitab Sejarah Dinasti Song (960-1279 Masehi) Buku 489 menyebutkan raja tinggal di Chan-pi (=Jambi). Apabila data per­tanggalan situs dan data Berita Tionghoa dikorelasikan, maka akan tampak keselaras­an­nya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aktivitas Kera­jaan Malayu pada masa awalnya (sebelum Sriwijaya abad ke-7 Masehi) berlokasi di daerah hilir Batanghari dengan pusatnya di sekitar kota Jambi sekarang.

Situs Muara Jambi yang merupakan suatu kompleks percandian, dibangun dalam be­berapa tahap, misalnya Candi Gumpung dibangun setidak-tidaknya dalam dua tahap pembangun­an. Berdasarkan temuan lempengan emas yang bertulisan yang ditemu­kan di dalam sumuran candi Gumpung, menurut paleografinya berasal dari sekitar abad ke-8 Masehi (Boechari 1981, tidak diterbitkan). Tetapi langgam arca Prajñaparamita yang ditemukan di antara runtuhan candi Gumpung, berasal dari abad ke-13-14 Masehi (Sulaiman 1983:203). Berdasarkan per­tanggalan relatif dari paleografi, gaya seni arca, dan gaya seni bangunan Sulaiman menduga bahwa kompleks percandian Muara Jambi sudah ada sebelum kedatangan pengaruh Sinhasari. Lagipula, ada seorang guru yang bernama Atisa dari India yang belajar di Malayagiri antara tahun 1011-1023 Masehi. Mungkin ia berkunjung ke Muara Jambi pada waktu datang ke Malayagiri.

Jambi dengan kompleks percandiannya di Muara Jambi mungkin merupakan tempat yang strategis. Daerah ini merupakan daerah Kerajaan Malayu yang pada waktu Sriwijaya sedang kuat berada di bawah ke­kua­saan Sriwijaya. Waktu itu Sriwijaya merupakan sebuah Talasocracy, sebuah kerajaan yang merupakan himpunan dari bandar-bandar. Setelah Sriwijaya lemah, Krtanagara memandang perlu menjalin persahabatan dengan Malayu karena adanya ancaman dari Tiongkok. Untuk itulah pada tahun 1275 Masehi dikirim ekspedisi Pamalayu. Untuk lebih mempererat persahabatan dengan Malayu, pada tahun 1286 Masehi Krtanagara mengirimkan arca Amoghapasa.

Mengenai perpindahan pusat kerajaan dari daerah hilir ke daerah hulu Batanghari hingga kini belum ditemukan sumber tertulisnya. Secara ekonomis, daerah hilir Batanghari (Jambi) lebih menguntungkan jika di­ban­dingkan dengan daerah hulu (Sumatera Barat). Di daerah hilir, sungai Batanghari dapat dilayari dengan perahu-perahu ukuran besar, se­dangkan di daerah hulu tidak. Dasar sungai dangkal dan berbatu-batu. Sungai Batanghari di daerah hulu hanya dapat dilayari dengan sampan. Tetapi, di­tinjau dari segi keamanan, daerah pedalaman lebih menguntungkan karena daerah ini tidak mudah dijangkau dengan menggu­nakan perahu besar.

Perpindahan pusat kerajaan ke daerah hulu, mungkin disebabkan karena alasan keamanan. Selain itu penguasa pada waktu itu memandang perlu pengawasan terhadap sumber alam tambang emas. Daerah peda­laman, terutama di daerah Sumatera Barat (hulu Batanghari), sejak dulu merupakan sumber emas. Sumber emas inilah kemudian dikelola oleh penguasa Malayu dan dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan kerajaan.

Perkembangan Kerajaan Malayu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Aditya­warman dengan pusatnya di daerah hulu Batanghari. Pada masa itu logam emas dimanfaatkan semaksimal mungkin, seperti dipakai sebagai bahan lempengan emas, benang emas, lembaran emas ber­tulis, kalung, dan arca (Sulaiman 1977). Meskipun pusat kerajaan ber­lokasi di daerah hulu Batanghari di wilayah Minangkabau, Adityawar­man tidak pernah menyebut daerah ke­kuasaannya sebagai Kerajaan Minang­kabau seperti dikemukakan oleh Moens (1937). Ia mena­makan dirinya sebagai Kanakamedi­nindra yang berarti ‘penguasa negeri emas‘ atau Swarnna­dwipa, Sumatera, Swarnna­bhumi. Dengan demikian ia meng­anggap pula dirinya sebagai pengua­sa daerah-daerah yang dulunya menjadi daerah kekuasaan Sriwijaya (Sulaiman 1977:9).

Dengan pindahnya pusat kerajaan ke hulu Batanghari, ini tidak berarti daerah hilir diabaikan. Jambi sebagai bekas pusat kerajaan tetap berkembang sebagai sebuah pelabuhan yang penting. Melalui pelabuhan Jambi barang-barang komoditi dari daerah pedalaman dipasarkan ke daerah lain. Pada abad ke-12-14 Masehi, Jambi merupakan salah satu dari tiga bandar penting di Sumatera bagian timur (Ambary 1990:58). Dua buah lagi adalah Kota Cina di wilayah Sumatera Utara dan Palembang di wilayah Sumatera Selatan.

Tinggalan budaya masa lampau dari situs-situs di daerah hilir Batanghari sebagian besar berupa keramik. Barang ini diketahui sebagai barang import dari Tiongkok. Di Situs Koto Kandis, Situs Suakkandis, dan Situs Muara Jambi temuan yang paling dominan adalah keramik Tiongkok dari masa Dinasti Song-Yuan (abad ke-12-14 Masehi). Dengan ditemukan­nya barang-barang tersebut, kita memperoleh bukti bahwa pada masa lampau hilir Batanghari (Jambi) memegang peranan penting dalam perdagangan internasional. Para pedagang dari daerah lain datang ke Jambi membawa barang dagangan untuk ditukar dengan hasil setempat. Dari Tiongkok para pedagang membawa keramik dan kain sutera. Kembalinya ke Tiongkok mereka membawa damar dan kapur barus.

Daerah hulu Batanghari dikenal sebagai daerah penghasil emas. Dari beberapa situs di daerah Batanghari banyak ditemukan artefak yang dibuat dari emas. Selain itu ditemukan juga pecahan-pecahan keramik dari bahan batuan yang berasal dari bentuk botol. Botol ini biasa dipakai sebagai wadah untuk menyimpan cairan merkuri untuk pengerjaan emas. Bukti bahwa Malayu atau katakanlah Batanghari tempo dulu mengha­sil­kan emas cukup banyak. Namun, yang menjadi pertanyaan mengapa Berita Tionghoa tidak ada satupun yang menyebutkan emas sebagai barang komoditi, atau menyebut­kan bahwa Shih-li-fo-shih, San-fo-tsi, atau Mo-lo-yeu menghasilkan emas. Justru sebaliknya, Tiongkok mem­bawa barang komoditi emas ke negara-negara itu untuk ditukarkan dengan hasil bumi dan hasil hutan. Lepas dari tidak disebutkannya Mo-lo-yeu sebagai daerah penghasil emas, namun kita mempunyai bukti kuat bahwa di daerah Koto Kandis pada masa lampau berlangsung aktivitas pengerjaan emas. Buktinya, di Koto Kandis banyak ditemukan pecahan botol merkuri, dan tanah di Koto Kandis “mengandung” bijih emas dan emas yang sudah dikerjakan. Hingga kini masyarakat di Koto Kandis sering mencari emas di tepian Sungai Batanghari.

Sungai Batanghari telah memiliki sejarah peradaban manusia yang panjang. Bukti adanya aktivitas manusia di sepanjang daerah tepiannya banyak ditemukan pada situs-situs arkeologi mulai dari daerah hilir ke daerah hulu. Peradaban manusia di Batang­hari yang tua ditemukan di daerah hilir sampai ke kota Jambi sekarang, sedangkan yang muda ada di daerah hulu.

Dari pertanggalan keramik, prasasti, dan arca, dapat diketahui ada­nya perpin­dahan pusat Kerajaan Malayu. Pusat kerajaan itu pada mulanya berlokasi di sekitar kota Jambi sekarang, kemudian pada sekitar abad ke-13 Masehi pusat kerajaan itu ada di Dharmasraya yang lokasinya di hulu Batanghari. Meskipun pusat kerajaan sudah bergeser ke daerah peda­laman, Jambi tetap memegang peranan penting dan terus tumbuh menjadi kota dagang. Munculnya beberapa bandar utama di pantai timur dan barat Sumatera telah merubah Selat Melaka menjadi jalur perdagangan yang penting di kawasan Asia Tenggara yang dapat menghu­bungkan kawasan timur (Tiongkok) dan Asia Tenggara kepulauan (Nusantara) dengan kawasan laut sebelah barat. Bandar-bandar utama itu antara lain Barus, Singkel, Kota Cina, Jambi, dan Palembang. Bandar-bandar ini di kemudian hari tumbuh dan berkembang menjadi kota, misalnya Jambi dan Palembang.

Pusat Kerajaan Malayu pada mulanya berlokasi di sekitar Jambi, di daerah hilir Batanghari. Kemudian pada sekitar abad ke-13 Masehi pusat kerajaan berpindah ke arah pedalaman, daerah hulu Batanghari di sekitar Rambahan (Sumatera Barat). Kerajaan Malayu dengan Jambi sebagai bandar pentingnya, merupakan sebuah kerajaan yang cukup berperan dalam percaturan sejarah Asia. Bandar Jambi yang merupakan pelabuh­an sungai, terus hidup dan berkembang yang akhirnya menjadi sebuah kota.

2. Perdagangan Emas

Dalam Seminar Sejarah Malayu Kuna terungkap bahwa lokasi Kerajaan Malayu ada di daerah Sungai Batanghari, mulai dari daerah hilir di wilayah Provinsi Jambi hingga daerah hulu di wilayah Provinsi Sumatera Barat. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa ada perpindahan “pusat” kerajaan mulai dari arah hilir ke arah hulu Batanghari (Bambang Budi Utomo 1992:183–84). Demikian juga bukti prasasti menunjukkan bahwa prasasti-prasasti Malayu yang lebih muda ditemukan di daerah hulu Batanghari, di wilayah Provinsi Sumatera Barat (Hasan Djafar 1992:50-80).

Jika dilihat dari pandangan geografis, daerah hilir Sungai Batanghari lebih mengun­tungkan jika dibandingkan dengan daerah hulu. Di wilayah pedalaman Sumatera Barat, jalan keluar menuju Selat Melaka adalah Sungai Indragiri dan Sungai Kampar Kiri. Kedua sungai ini bermata-air di wilayah Pagarruyung. Tentunya tidak mungkin untuk pelayaran sungai. Namun, pada pertengahan abad ke-14 Masehi pusat Kerajaan Malayu berlokasi di sekitar daerah Pagarruyung (Sumatera Barat). Tetapi mengapa justru di daerah ini Kerajaan Malayu mencapai puncak kejayaannya? Gejala apakah yang memacu perkembangan kerajaan ini. Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan mencoba untuk membahasnya dengan melihat sumberdaya alam yang terkandung di bumi Sumatera, khususnya di daerah hulu Batanghari.

Adalah penting untuk melihat kedudukan sumberdaya alam Pulau Sumatera untuk dapat memahami mengenai timbulnya pemukiman, pelabuhan, pola perdagangan, dan kerajaan-kerajaan kuna di Sumatera. Hal yang tidak dapat dipungkiri oleh banyak orang adalah bahwa hasil bumi dan hasil tambang Sumatera banyak dicari oleh para pedagang baik dari Arab, India, Tiongkok dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Salah satu hasil Sumatera yang terpenting adalah emas.

Selain emas, beberapa logam lain juga ditemukan di Sumatera seperti perak, plumbum, tembaga, zink, besi, dan air raksa (van Bemmelen 1944:210; Miksic 1979: 263). Barang-barang logam itu telah lama ditambang dan jauh sebelum abad ke-16 Masehi, yaitu ketika para penguasa barat melakukan penambangan secara besar-besaran di bumi Suma­tera (Miksic 1979:262). Air raksa banyak ditemukan di Lebong dan cinnabar, satu jenis logam yang mengandung air raksa telah ditambang di daerah Jambi jauh sebelum keda­tangan orang Barat (Miksic 1979:262; Tobber 1919:463-464). Cinnabar juga ditambang di Muara Sipongi, Kabupaten Tapanuli Selatan (Sumatera Utara) (van Bemmelen 1944:210). Di Muara Sipongi, sebelum kedatangan bangsa Barat ditambang plumbum, zink, besi, dan tembaga.

Selain hasil tambang, sumber daya alam Sumatera yang menjadi komoditi penting pada masa lampau adalah hasil hutan. Pada masa Kesultanan Melaka diberitakan ada selusin kapal yang singgah di Melaka setiap tahunnya membawa muatan yang sebagian besar berupa hasil hutan. Hasil hutan yang dikapalkan itu antara lain berupa damar, kapur barus, storax, bahan untuk membuat minyak wangi, myrobalan (bahan baku untuk pencelup kain), dadah, dan benzoin (Dunn 1975; Miksic 1979:264).

Gambaran yang dapat kita peroleh dari pengelana-pengelana asing jelas bahwa masyarakat di Sumatera sejak jaman purba telah melakukan penambangan emas. Emas yang dikumpulkan dapat berupa emas primer maupun emas sekunder, tergantung dari tempat di mana mereka mencarinya. Christine Dobbin mengemukakan bahwa daerah pusat Minangkabau selama beberapa abad telah memegang peranan penting dalam perekonomi­an di wilayah sebelah barat Nusantara (Dobbin 1986, terjemahan). Daerah Tanah Datar merupakan penghasil salah satu dari sumber utama kegiatan perekonomian. Dari daerah ini banyak dihasilkan emas. Menurut Tomé Pires di pantai barat Sumatera, bahan eksport selain lada adalah emas, kelambak, kapur barus, kemenyan, damar, madu, dan bahan makanan (Poesponegoro (3) 1984:147-148). Eksport komoditi ini ditujukan ke Melaka. Akan tetapi ada juga kapal-kapal Gujarat yang datang langsung ke Pantai Barat Sumatera untuk membawanya langsung ke negerinya.

Emas merupakan hasil tambang dari Sumatera yang penting dan utama. Oleh sebab itu, untuk menelusuri kelahiran bandar-bandar utama di Sumatera dan sistem per­dagangan pada masa lampau, kita harus dapat memahami tentang peranan emas dari Sumatera. Logam ini telah ditambang di Sumatera sejak jaman sebelum kedatangan bang­sa barat (Eropa) ke Asia Tenggara. Demikian pentingnya emas dari daerah Minang­ka­bau, Wheatly menunjukkan bukti bahwa Kesultanan Melaka telah menantang Kesul­tanan Deli, Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri untuk memastikan ia dapat menjamin keamanan per­dagangan emas dari kawasan pedalaman Minangkabau (Wheatly 1961:309).

Penambangan emas secara besar-besaran di wilayah Sumatera Barat baru dila­kukan pada masa penjajahan. Meskipun demikian, daerah ini sudah lama dikenal sebagai penghasil emas yang utama. Penguasaan atas tambang-tambang emas dilakukan oleh para penguasa untuk tujuan politik. Emas dari daerah pedalaman Minangkabau dipasar­kan ke luar Sumatera melalui pantai barat dan pantai timur Sumatera dengan me­lalui jalan sungai dan jalan darat. Itulah sebabnya Malayu pada masa Adityawarmman mencapai kejaya­annya. Pendahulu Adityawarmman telah memindahkan keratonnya ke daerah pedalaman agar memudahkan pengontrolan tambang-tambang emas. Daerah pedalaman (sekitar Pagarruyung) dekat dengan jalan keluar menuju Selat Melaka melalui Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri. Menuju pantai barat dapat melalui celah Pegunungan Bukit Barisan menuju Padang. Menuju ke arah utara, dapat melalui Muara Sipongi (juga merupakan tambang emas) menuju ke arah Tapanuli Selatan.

Kerajaan Malayu yang lokasi geografisnya di daerah lembah Batanghari, se­kurang-kurangnya telah mengalami tiga kali pemindahan ibukotanya. Ibukota yang per­tama (awal) berlokasi di daerah hilir Batanghari, di suatu tempat yang mungkin di Muara Jambi (de Casparis 1992) atau di Kota Jambi sekarang (Bambang Budi Utomo 1992). Ibu-kota yang kedua berlokasi di sekitar daerah hulu Batanghari. Pemindahan yang kedua ini mungkin berlangsung sebelum tahun 1286 (Prasasti Dharmasraya ). Ibukota terakhir (?) berlokasi di daerah Pagarruyung, dan oleh Adityawarmman ibukota ditetapkan di Surawasa. Pemindahan ke daerah ini terjadi tahun 1316 Masehi pada masa pemerintahan Akarendrawarman (de Casparis 1992). De Casparis mengajukan alasan pemindahan ibukota karena ancaman agama baru yang berkembang di Aceh, yaitu agama Islam dari Kesultanan Samudra Pasai. Karena itulah Adityawarmman membuat arca Bhairawa dan menetapkan Surawasa sebagai pusat pemerintahan. Adityawarmman beranggapan bahwa agama Islam tidak hanya mengancam agama Buddha yang dipeluk­nya, melainkan juga membahayakan tahta raja sendiri.

Dugaan yang diajukan de Casparis dapat diterima, tetapi dapat ditambahkan bahwa Adityawarmman juga berniat menguasai tambang emas yang banyak terdapat di wilayah Minangkabau. Selain itu, jika pusat pemerintahan ada di daerah Surawasa, akses menuju Selat Melaka yang merupakan jalur lalulintas perekonomian akan lebih dekat lagi, yaitu melalui Sungai Kampar Kiri dan Sungai Indragiri (Batang Kuantan). Demikian juga akses menuju pantai barat Sumatera tempat para pedagang dari India dan Arab biasa berlabuh mengambil barang komoditi. Bukti prasasti dari Barus menun­jukkan adanya komunitas para pedagang Tamil di pantai barat Sumatera. Adanya komunitas orang Tamil di sekitar Pagarruyung dapat diketahui dari Prasasti Bandar Bapahat yang berbahasa Tamil dan beraksara Grantha dari situs di tepi Batang Selo (Tanah Datar)

Setelah Malayu di bawah pemerintahan Adityawarmman mencapai kejayaan­nya, tibalah masa yang gelap bagi Malayu. Berita mengenai Malayu sebagai kerajaan yang bercorak Buddha tidak pernah terdengar lagi. Namun demikian perdagangan emas dari daerah Minangkabau masih tetap berlanjut dengan melalui jalur sungai Kampar Kiri dan Indragiri.

3. Keagamaan

Berbicara mengenai agama yang berkembang di wilayah Sumatera Barat pada abad ke-13-14 Masehi, maka kita harus membicarakan juga agama yang berkembang di Sumatera Utara (Kabupaten Tapanuli Selatan) dari masa yang sama. Di kawasan yang dikenal dengan nama Padanglawas, terdapat tinggalan budaya masa lampau yang berupa kompleks biaro dengan arca-arcanya yang berwajah raksasa. Di samping itu ditemukan juga prasasti-prasasti yang mengindikasikan pemujaan tantris.

Kepurbakalaan yang ditemukan di Situs Padanglawas hampir semuanya terdiri dari biaro-biaro yang bagian puncaknya diakhiri dengan bentuk stupa. Kadang-kadang ditemukan juga sebuah bangunan stupa yang ukurannya lebih kecil dari bangunan biaro. Bangunan ini biasanya ditemukan di halaman kelompok bangunan biaro. Indikator ter­sebut menunjukkan bahwa hampir seluruh kepurbakalaan di Padanglawas berhubungan dengan agama Buddha, dan hanya sedikit yang berkaitan dengan agama Hindu aliran Siwa. Bukti ikonografis menunjukkan bahwa arca-arca yang ditemukan di Padanglawas seluruhnya berwajah raksasa dengan raut muka yang menyeram­kan. Demikian juga relief pada dinding bangunan menggambarkan raksasa yang sedang menari-nari dengan tarian tandawa. Beberapa tulisan baik yang ditulis pada lempengan emas, maupun yang ditulis pada batu membuktikan bahwa agama yang berkembang di Padanglawas adalah wajrayana, yaitu suatu aliran dalam agama Buddha yang mempunyai sifat-sifat keraksa­saan (Suleiman 1985: 26).

Pada tahun 1950-an, di dalam bilik utama bangunan Bahal 2, ditemu­kan se­buah arca yang telah hancur berkeping-keping. Setelah berhasil direkonstruksi kembali, ternyata arca yang telah hancur itu berasal dari bentuk sebuah arca Heruka yang mem­punyai ukuran tinggi 118 cm. Jenis arca ini merupakan arca langka yang jarang dite­mukan di Indonesia, baik di Jawa maupun di Sumatera. Keadaan mukanya telah rusak. Di bagian belakang kepala terdapat rambut yang berdiri ke atas seperti lidah api. Peng­gambaran arca ini sangat “sadis” dengan setumpuk tengkorak dan raksasa sedang me­nari-nari di atas mayat. Raksasa ini digambarkan bertangan dua. Tangan kanan diangkat ke atas sambil memegang vajra, sedangkan tangan kiri berada di depan dada sambil memegang sebuah mangkuk dari batok kepala manusia. Sebatang tongkat (khatvanga) yang di bagian ujungnya diikat kain yang menyerupai bendera dikempit pada ketiak tangan kiri. Berdiri di atas kaki kiri yang agak ditekuk, sedangkan kaki kanan diangkat dengan telapak kaki mengarah ke paha kiri. Dari belakang kaki kanan terjuntai sampur hingga ke bawah. Arca ini sekarang telah hilang, dan bagian yang masih tersisa adalah bagian kiri belakang (bagian ujung tongkat yang terdapat ikatan kain).

Penggambaran arca Heruka tersebut, tercantum dalam kitab Suddhamala yang mene­kan­kan bahwa seorang penganut Tantrayana harus membayangkan Heruka itu seba­gai berikut:

“berdiri di atas mayat dalam sikap ardhaparyanka (setengah bersila) berpa­kaian kulit manusia, tubuhnya dilumuri abu, tangan kanannya meng­genggam sebuah vajra yang berkilauan, dan tangan kirinya menggeng­gam sebuah khatwanga, berhiasan panji yang melambai-lambai, serta sebuah mangkuk tengkorak yang berisi darah; selempangnya berhiasan rantai dari 50 kepala manusia, mulut­nya sedikit terbuka karena taring, sedangkan nafsu birahi tampak dari sorot matanya, rambutnya yang kemerah-merahan berdiri ke atas; arca Aksobhya menghiasi mahkotanya dan anting-anting menghiasi telinganya; ia berhiaskan tulang-tulang manusia dan kepalanya berhiasan tengkorak manusia; ia memberi kebudhaan dan dengan semedinya melindungi terhadap mara-mara di dunia.” (Sulistya 1985)

Tokoh Heruka disebutkan juga dalam sebuah kakawin yang ditulis dalam jaman Majapahit (abad ke-14-15 Masehi). Pada kakawin yang dikenal dengan nama Sutasoma, pupuh 125 antara lain menyebutkan sebagai berikut:

“Inilah sebabnya mengapa seorang penganut Mahayana berusaha untuk men­sucikan dirinya. Bukanlah karena dia ingin makan daging manusia mau­pun karena dia ingin memuaskan nafsu makannya. Dia hanya ingin berusaha membersihkan kesadarannya supaya dia dapat menguasai hidup dan mati. Itulah tujuan dari latihan-latihannya. Dalam keadaan serupa itu ia bersatu dengan Jinapati, puncak dari kebebasan. Banyaklah cara antara lain dipa­kainya daun kering untuk melindungi dirinya dari sinar matahari selama latihannya. Darah yang berbau mengalir melalui kepalanya dan menetes di dadanya. Usus manusia melingkari tubuhnya dan lalat-lalat hijau beterbangan dan hinggap di muka serta masuk di matanya, Namun hatinya sama sekali tidak tergoda dari tujuan utama untuk bersatu dengan dewa Heruka” (Bosch 1930: 142).

Dari kedua sumber tertulis itu jelas bahwa upacara tantrayana seolah-olah merupakan suatu perbuatan yang sadis dan tidak lepas kaitannya dengan mayat serta darah manusia. Di samping itu ada juga ritual yang berkaitan dengan minum minuman keras yang memabukkan, seperti yang dilakukan oleh Raja Krtanagara dari Kerajaan Sinhasari. Upacara yang terpenting dalam aliran Wajrayana adalah upacara Bhairawa, yang dilakukan di atas ksetra (suatu tempat penimbun mayat sebelum dibakar). Di tempat ini mereka bersemedi, menari-nari, merapalkan mantra-mantra, membakar ma­yat, minum darah, tertawa-tawa, mengeluarkan bunyi mendengus seperti suara banteng. Tujuannya adalah untuk mengajarkan penganutnya bagaimana dengan melalui cara kesaktian dapat kaya, panjang umur, perkasa, tidak mempan senjata tajam, dapat hilang dari pandangan orang, dan dapat mengobati orang sakit; atau dalam bentuk yang lebih sakti lagi, apabila berulang-ulang merapal nama Buddha atau Bodhisattwa dapat meng­atasi keadaan yang tidak tenang atau mendapat mukjizat untuk dilahirkan kembali dengan kekuasaan dewa yang dipuja (Majumdar 1937: 121).

Tiga kelompok biaro yang mempunyai sifat buddha tantrik ialah kelompok Biaro Si Pamutung, Biaro Si Joreng Belangah, dan Biaro Si Sangkilon (Schnitger 1937: 23-25). Pada Biaro Si Pamutung banyak ditemukan arca maupun hiasan bangunan (makara) yang merupakan indikator Wajrayana. Pada halaman biaro ditemukan sebuah arca buaya yang digambarkan dengan wajah yang bengis. Selain itu ditemukan juga dua buah arca raksasi dalam sikap añjalimudra di mana dari mulutnya keluar dua pasang taring. Kedua bola matanya digambarkan melotot. Di Si Joreng Belangah ditemukan prasasti yang menggam­bar­kan upacara tantris yang bunyinya:

“Wanwawanwanagi
Bukangrhugr
Hucitrasamasyasa
Tunhahahaha
Hum
Huhuhehai
Hohauhaha
Omahhum”

Menurut Stutterheim, bunyi “ha” dan sebagainya adalah bunyi tertawa dan bunyi “hu” adalah bunyi dengusan suara banteng. Bunyi-bunyi ini biasa diucapkan para pemuja pada waktu upacara Tantrik. Selanjutnya, menurut Stutterheim pertanggalan prasasti ini dapat ditempatkan dalam abad ke-13 Masehi atau pertengahan abad ke-14 Masehi. Di samping itu ditemukan suatu bukti bentuk tantrisme di Padanglawas.

Bosch mengemukakan bahwa agama yang digambarkan oleh arca-arca dan prasasti-prasasti singkat pada batu dan lempeng emas, dalam upacaranya melibatkan pengorbanan manusia (Miksic 1979: 86). Menurut Nilakanta Sastri, agama Buddha yang berkembang di wilayah Sumatera Barat (Sungai Langsat) dan di wilayah Padanglawas adalah agama Buddha Kalacakra (Sastri 1949: 109).

Beberapa kelompok biaro telah menghasilkan bukti-bukti arkeologis yang dapat menun­jukkan kepada kita jenis tantrisme yang diamalkan. Adalah suatu kenya­taan, dimana dapat dibuktikan dengan ditemukannya sebuah arca Heruka, bahwa Biaro Bahal 2 adalah contoh Tantrisme Buddha. Heruka adalah salah satu dewa dalam pan­theon Buddha yang cukup dikenal. Menurut kepercayaan para penganutnya, apabila mengadakan pemujaan terhadap Heruka maka orang yang memuja itu akan masuk nirwana dan selalu unggul dalam menaklukan semua mara di dunia.

Dengan ditemukannya arca-arca yang digambarkan dengan raut wajah yang menye­ramkan serta prasasti-prasasti singkat yang kalimatnya seperti bunyi tertawa, dapat disim­pulkan bahwa agama yang berkembang di daerah Padanglawas adalah agama Buddha Wajrayana. Arca Heruka merupakan bukti nyata bahwa agama di Padanglawas adalah agama Buddha Wajrayana. Agama ini berkembang juga di daerah Sumatera Barat, di sekitar Padangroco (hulu Batanghari) hingga ke daerah sekitar perbatasan Provinsi Riau (hulu sungai Kampar).

Pada masa yang kemudian setelah masa Padanglawas atau pada masa yang bersa­maan dengan itu, di wilayah pedalaman Sumatera Barat yang merupakan daerah hulu Batanghari, Kerajaan Malayu sedang mencapai puncak kejayaannya. Pada sekitar pertengahan abad ke-14 Masehi yang memerintah di Kerajaan Malayu adalah Aditya­warmman. Agama yang berkembang di Malayu adalah agama Buddha Mahayana aliran Wajrayana dengan upacaranya Bhairawa. Bukti eksistensi agama ini dapat dilihat dari temuan arca dan prasasti yang menunjukkan adanya upacara Bhairawa. Sebuah arca Bhairawa yang merupakan arca perwujudan Adityawarmman ditemukan di Padangroco (Sawahlunto-Sijunjung, Sumatera Barat), sedangkan mengenai upacara Bhairawa yang dilakukan oleh Adityawarmman dapat diketahui dari prasasti yang dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapasa. Arca ini ditemukan di Rambahan, sekitar 4 km. ke arah hulu dari Situs Padangroco.

Prasasti pada arca Amoghapasa ditulis dalam aksara Jawa Kuna dengan meng­gu­na­kan bahasa Sansekerta, dalam 27 baris, dan berbentuk sloka 12 bait. Angka tahun yang tertera dalam bentuk candrasangkala yang menunjuk tahun 1268 Saka (1347 Masehi) dan dikeluarkan oleh Sri Maharajadhiraja Adityawarmman. Dalam prasasti itu ia menyebutkan pula dirinya dengan nama Srimat Sri Udayadityawarmman. Selanjutnya, prasasti ini menyebutkan tentang penyelenggaraan upacara yang bercorak tantrik, pen­tahbisan arca Buddha dengan nama Gaganaganja (namna gagana ganjasya), dan pemu­jaan kepada Jina (Hasan Djafar 1992: 9-12).

Hingga kini belum dapat diketahui dari mana aliran Tantris ini masuk ke wila­yah Sumatera Barat. Apakah datang dari Jawa, atau datang dari daerah utara di Padang­lawas. Bukti tertua keberadaan Tantris di Sumatera dapat diketahui dari beberapa buah prasasti singkat yang ditemukan di Padanglawas. Prasasti dengan indikator Tantris dari kompleks percandian Si Joreng Belangah yang berangka tahun 26 April 1179 Masehi (Damais 1955) dan prasasti dari Si Topayan yang berangka tahun 1235 Masehi (Goris 1930: 234) sebagai contoh­nya. Sementara itu, di Sumatera Barat keberadaan Tantris dapat diketahui dari Pra­sasti Amoghapasa (dipahatkan pada alas arca) yang berangka tahun 1286 Masehi (Moens 1924) dan Prasasti Adityawarmman (dipahatkan pada bagian belakang arca Amoghapasa) yang ber­angka tahun 1347 Masehi (Kern 1917). Kalau didasarkan atas informasi dari prasasti, maka yang lebih dahulu berkembang adalah Tantrisme di Padanglawas. Setelah itu Tantrisme berkembang di Sumatera Barat.

__________
Oleh : Bambang Budi Utomo
Bambang Budi Utomo, adalah Kerani Rendahan pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

Ambary, Hasan Muarif, 1990 “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatra Abad 7-16 Masehi dalam Jalur Jalan Darat Melalui Lautan”, dalam Kalpataru 19. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Bambang Budi Utomo, 1990, “Teori Garis Pantai Sumatera Timur: Pengaruhnya Terhadap Penempatan Pusat Sriwijaya”, dalam Monumen hlm. 143-155. Depok: Lembaran Sastra, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

———–, 1992, “Batanghari Riwayatmu Dulu”, dalam Seminar Sejarah Malayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jambi & Kanwil Depdikbud Propinsi Jambi

Bambang Sulistya, 1985, “Pengaruh Tantrayana di Kawasan Nusantara”, dalam Berkala Arkeologi 6(2). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Bemmelen, R.W. van, 1949, “The Geology of Indonesia Vol. IA” (General Geology). The Hague: Martinus Nijhoff.

Boechari, 1979, “Report on Research on Srivijaya”. Country Report of Indonesia, Part I, dalam Final Report SPAFA Workshop on Research Project on Srivijaya, Appendix a: 1-7. Bangkok: SPAFA Coordinating Unit.

————, 1981, “Report on Research on Srivijaya”. Dalam Studies on Srivijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

————, 1984, “Laporan Hasil Penelitian Lempengan-lempengan Emas dari Candi Gumpung” (Naskah, tidak diterbitkan).

————, 1985 “Ritual Deposits of Candi Gumpung (Muara Jambi)”, dalam SPAFA Final Report: Consultative Workshop on Archaeological and Environmental Studies on Srivijaya. Bangkok: SPAFA Coordinating Unit.

Bosch, F.D.K., 1930, “Verslag van een Reis door Sumatra”, dalam OV 1930 Bijlage C. hal 133-157.

Casparis, J.G. de, 1989, “Peranan Adityawarman, Seorang putra Melayu di Asia Tenggara”, makalah dalam Persidangan Antarabangsa Tamadun Melayu II.

————, 1990, “An Ancient Garden in West Sumatera”, dalam Kalpataru 9: 40-50. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

————, 1992, “Malayu dan Adityawarman”, dalam Seminar Sejarah Malayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jambi & Kanwil Depdikbud Propinsi Jambi

Damais, L. C., 1955, “Etudes d‘épigraphie indonésienne IV. Discussion de la date des inscriptions” . BEFEO XLVII, Saigon.

Damais, L.C., 1970, Repertoire Onomastique de l‘Épigraphie Javanaise (Jusqu‘a Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotungadewa): Étude d‘Épigraphie Indonésienne. Paris: Publications de EFEO, LXVI.

Dobbin, Christine, 1977, “Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement, 1784-1830”, dalam Indonesia 23 hlm. 1-38.

Dunn, F.L., 1975, “Rain-forrest collectors and traders: A study of resource utilization in modern and ancient Malaya”, dalam Monograph of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society No. 5.

Groeneveldt, W.P., 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara.

Hasan Djafar, 1992, “Prasasti-prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya”, dalam Seminar Sejarah Malayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I Propinsi Jambi & Kanwil Depdikbud Propinsi Jambi.

Hirth, Friederich dan W.W. Rockhill (eds.), 1911, Chau Ju-Kua. His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries, entitled Chu-fan-chï. Amsterdam: Oriental Press.

Irfan, Nia Kurnia Sholihat, 1983, Kerajaan Sriwijaya. Bandung: Girimukti Pasaka.

Kern, H., 1917, “De Wij-inscriptie op het Amoghapaça-beeld van Padang Candi (Midden Sumatra): 1269 Çaka”, dalam VG 7: 163-165.

Krom, N.J., 1912, “Inventaries der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden”, dalam OV Bijlage G-H. hlm. 33-52.

Majumdar, R.C., 1933, “Les rois Çailendra de Suwarnadwipa”, dalam BEFEO 33: 121-141.

————, 1937, Suvarnadipa. Dacca/Calcutta.

Marsden, William, 1966, History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

Miksic, John N., 1979, Archaeology, Trade and Society in Northeast Sumatra. (Ph. D Thesis). New York: Cornell University.

Mills, J.V.G., 1970, Ma Huan. Ying-yai Sheng-lan. ‘The Overall Survey of the Ocean‘s Shore‘ (1433). [translated from the Chinese text edited by Feng Ch‘eng-Chün with introduction, notes and appendices by JVG Mills]. Cambridge: University Press for the Hakluyt Society.

Moens, J.L., 1924, “Het Buddhisme op Java en Sumatra in Zijn Laaste Bloei-periode”, dalam TBG 64: 521-580.

————, 1937, “Çrivijaya, Yawa en Kataha”, dalam TBG 77: 317-487.

Moens, J.L., 1974, Buddhisme di Jawa dan Sumatra dalam masa kejayaannya terakhir (Seri Terjemehan No. ). Jakarta: Bhratara.

Nilakanta Sastri, K.A., 1949, History of Srivijaya. Madras: University of Madras.

Pelliot, Paul, 1904, “Deux Itineraires de Chine en Inde á la fin du VIIIe Siecle”, dalam BEFEO tome IV.

Pigeaud, T.G. Th., 1960-1963, Java in the Fourtheenth Century; A study in cultural history. The Hague: Martinus Nijhoff.

Pitono Hardjowardojo, R., 1965, Pararaton, Djakarta: Bhratara.

————, 1966, Adityawarman: Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional Abad XIV. Djakarta: Bhratara.

Poesponegoro, Marwati Djoenet dan Nugroho Notosusanto (ed.), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II & III. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.

Schnitger, F.M., 1937, The archaeology of Hindoo Sumatra. Leiden: E.J. Brill

Slametmulyana, 1981, Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Idayu.

Suleiman, Satyawati, 1977, ”The Archaeology and History of West Sumatra”, dalam Bulletin of the Research Centre of Archaeology of Indonesia No. 12. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

————, 1983, “Artinya penemuan baru arca-arca Klasik di Sumatera untuk penelitian Arkeologi Klasik”, dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Tobber, 1919, “Djambi verslag uitkomsten van het geologisch-mijnbouwkundige onderzoek in de residentie Djambi 1906-1912”. Jaarboek van het Mijnwezen in Nederlandsch Oost-Indie, Verhandelingen 48/3

Wheatley, Paul, 1961, The Golden Khersonese. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.

Wolters, O.W., 1970,The Fall of Srivijaya in Malay History. Kuala Lumpur: Oxford University Press.

————, 1974, Early Indonesian Commerce. A Study of the Origins of Srivijaya. Ithaca, London: Cornell University Press.
»»  READMORE...

Jumat, 08 Juni 2012

Shalat, Obat Segala Kesusahan

ORANG yang mengenal jalan Allah swt. dan selalu berlindung kepada naungan-Nya adalah orang yang mengetahui bahwa shalat merupakan obat dari segala kesusahan dan kesedihan. Mereka meyakini bahwa shalat adalah penenang hati, penyejuk jiwa, dan penghapus segala kesedihan.
Rasulullah saw. mengenal benar arti semua ini.
Shalat bagi Rasulullah saw. merupakan penghibur jiwa yang paling utama. Oleh karena itu, Rasulullah saw. pernah bersabda,
“Hiburlah kami dengan shalat, wahai Bilal.” (HR Abu Dawud dan ath-Thabrani)
Begitu pula halnya Rasulullah saw. bila ditimpa musibah. Beliau segera melaksanakan shalat karena shalat adalah tali pengikat yang akan mengikat seorang harnba dengan Tuhannya.
Anda pun demikian. Ketika Anda shalat, Anda kembali kepada Tuhan dengan mengadukan kepada-Nya segala kesusahan dan kesedihanAnda. Siapa lagi yang dapat rnenyelesaikan segala permasalahan Anda selain Allah? Siapa yang berada di sisi Anda dan rnenjaga Anda pada saat-saat sulit kalau bukan Allah?
Mengapa Anda tidak datang dan mengetuk pintu kasih sayang Allah? Bukankah Anda merasa senang bila berada dalam perlindungan-Nya, dan bimbmgan-Nya? Juga bila Allah menjaga Anda dari orang orang yang berbuat zalim, sombong, dan sewenangwenang?
Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa shalat subuh, maka ia berada dalam jaminan Allah.” (HR Muslim)
Mengapa Anda pergi menemui orang lain, padahal Anda tidak mengetahui apakah Anda akan dibukakan pintu atau bahkan pintu itu akan ditutup rapat-rapat di depan wajah Anda. Anda justru meninggalkan pintu Zat Yang Maha Pemurah yang selalu terbuka dihadapanAnda. Pintu yang tidak akan pernah tertutup, terkunci, dan tidak akan ada seorang pun yang menghalangi Anda?
Bila saat ini Anda ditimpa kesusahan, kesedihan, atau rasa cemas, maka cepatlah kem bali ke naungan Allah. Ber­dirilah Anda, lalu berwudhu dan shalat. Berdoalah kepada Allah sesuka Anda demi kebaikan dunia akhirat. sekalipun Anda adalah sosok orang yang gemar berbuat maksiat. Janganlah merasa takut dan cemas karena rahmat Allah sangat luas sekali. Alangkah gembiranya Allah swt. dengan tobatnya Anda dan kembalinya Anda kepada naungan-Nya, juga dengan ketukan Anda pada pintu kasih sayang-Nya.
Rasulullah saw. bersabda dalam hadits qudsiy
“Aku (Allah) berada dalam prasangkaan hamba-Ku me­ngenai-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Demi Allah, Allah lebih bergembira dengan tobat hamba- Nya, seperti bergembiranya salah satu dari kalian bila menemukan binatang kendaraannya yang telah hilang di Padang Sahara. Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta, dan barangsiapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekat padanya satu depa, dan bila seorang hamba datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari-lari kecil.” (HR Bukhari dan Muslim)
Setiap orang yang memiliki pikiran objektif dan hati yang bersih, tentu tahu benar nilai keutamaan shalat untuk menyembuhkan penyakit hati, sebagai usaha menghilang­kan kesusahan dan kegelisahan. Salah seorang pakar ke­dokteran terkenal dari Barat yang bemama Dr. Alexis Carrel telah menulis dalam buku terpopulemya, Man the Unknown, mengatakan,

“Barangkali, saat ini hanya shalat yang dikenal memiliki daya terbesar untuk menimbulkan vitalitas. Saya sebagai seorang dokter, telah banyak me­nyaksikan kegagalan serum-serum dalam menangani para pasien. Dan ketika para dokter telah angkat tangan karena merasa menyerah dan tidak mampu lagi menangani pa­sien, temyata hanya shalat yang dapat menyembuhkan para pasien dari penyakit-penyakit mereka.”
Memang, ketika kita shalat, kita mengikatkan diri kepada kekuatan terbesar yang menguasai Alam semesta. Kekuatan itu adalah Allah, Tuhan tempat kita meminta, tempat kita merendahkan diri agar Tuhan memberikan dukungan dan membantu kita mengatasi segala kesulitan hidup. Bahkan, hanya dengan merendahkan diri sudah cukup untuk menambah kekuatan dan vitalitas. Anda akan melihat, seseorang yang sekali saja merendahkan diri kepada Allah, telah dapat mendapat manfaat yang sangat besar”
Bagaimana Anda tidak kembali kepada Tuhan Anda, sedangkan Tuhan memanggil Anda,
“Wahai hamba-hamba-Ku,setiap kalian adalah tersesat, kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk. Maka mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan menunjukkanmu. Wahai hamba-hamba-Ku,setiap kalian merasakan lapar, kecuali orang yang telah Aku beri makan. Maka mintalah makan kepada-Ku, niscaya Aku beri makan kalian. Wahai hambahamba-Ku,setiap kalian adalah telanjang, kecuali orang yang telah Aku beri busana. Maka mintalah busana kepada-Ku, niscaya Aku beri busana kalian.” (HR Muslim)
Marilah kita lihat bahwa ada hikmah yang sangat besar dalam pembagian shalat lima waktu pada saat yang berbeda-beda dalam sehari semalam. Barangkali hikmah dari semua ini adalah untuk mengingatkan hamba agar senantiasa kembali kepada Allah swt., serta agar senan­tiasa meminta dengan berdoa dan merendahkan diri ke­pada-Nya, agar senantiasa mengetuk pintu kasih sayang­Nya untuk meminta bantuan dan pertolongan. Lihatlah, seandainya Anda senantiasa menjaga shalat lima waktu secara berjamaah di masjid, apakah Anda merasakan sem­pit, susah, atau bahkan sedih setelah menjalankan shalat? Semoga tidak !!!
»»  READMORE...

Senin, 04 Juni 2012

12 Golongan yang Dido'akan oleh Malaikat

1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci....

"Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa 'Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci". (HR Imam Ibnu Hibban dari Abdullah bin Umar)

2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.
"Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya 'Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia' (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Muslim 469)

3. Orang-orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang - orang) yang berada pada shaf - shaf terdepan" (Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra' bin 'Azib)

4. Orang-orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang-orang yang menyambung shaf-shaf" (Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah)

5. Para malaikat mengucapkan 'aamin' ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
"Jika seorang Imam membaca 'ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhaalinn', maka ucapkanlah oleh kalian 'aamiin', karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu" (HR Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Shahih Bukhari 782)

6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
"Para malaikat akan selalu bershalawat ( berdoa ) kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, 'Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia'" (HR Imam Ahmad dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106)

7. Orang-orang yang melakukan shalat shubuh dan 'ashar secara berjama'ah.
"Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat 'ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat 'ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, 'Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?', mereka menjawab, 'Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat'" (HR Imam Ahmad dari Abu Hurairah, Al Musnad no.9140)

8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
"Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata 'aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan' (HR Imam Muslim dari Ummud Darda', Shahih Muslim 2733)

9. Orang-orang yang berinfak.
"Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, 'Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak'. Dan lainnya berkata, 'Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit'" (HR Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah, Shahih Bukhari 1442 dan Shahih Muslim 1010)

10. Orang yang sedang makan sahur.
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat (berdoa ) kepada orang-orang yang sedang makan sahur" Insya Allah termasuk disaat sahur untuk puasa "sunnah" (HR Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, dari Abdullah bin Umar)

11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.
"Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh" (HR Imam Ahmad dari 'Ali bin Abi Thalib, Al Musnad 754)

12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
"Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain" (HR Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily)

Subhanallah...
»»  READMORE...

Selasa, 29 Mei 2012

Istri Shalehah yang Menggairahkan

Abu Thalhah adalah salah seorang sahabat Nabi yang amat beruntung karena kehidupan keluarganya yang sakinah. Isterinya yang bernama Rumaisah atau lebih dikenal dengan Ummu Sulaim bukan hanya cantik dan menggairahkan, tapi juga shalehah dan cerdas. dikaruniai seorang anak dari Allah swt melengkapi kebahagiaan keluarga ini.Namun demikian, selalu kumpul di rumah untuk selalu menikmati kebahagiaan tidaklah mungkin. Seorang suami harus keluar dari rumah untuk mencari nafkah yang juga menjadi tanggungjawab dan bukti cintanya kepada keluarga. Bahkan dalam situasi yang mendesak ia tetap harus lakukan hal itu. Suatu ketika anak semata wayang yang mereka cintai jatuh sakit,  sementara Abu Thalhah harus keluar rumah untuk mencari nafkah dan bila tidak keluar rumah, ia tidak mendapatkan apa yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Karenanya, meskipun terasa berat ia tetap pergi untuk melaksanakan kewajibannya itu. Ketika sore hari, anaknya yang sakit akhirnya meninggal dunia. Duka amat dalam dirasakan oleh Rumaisah, iapun mengucurkan air mata sampai terasa sudah habis bersama kesedihannya yang juga demikian.
Hari sudah mendekati malam yang berarti suaminya segera pulang, IA TIDAK INGIN SUAMINYA PULANG YANG DALAM KEADAAN LELAH HARUS BERHADAPAN DENGAN KESEDIHAN YANG DALAM DAN TIDAK MENYENANGKAN.Untuk menyambut suaminya pulang, Ummu Sulaim memindahkan jenazah anak yang dicintainya itu ke kamar khusus, iapun menutupi wajahnya yang sedih dengan sedikit bersolek dan siap menyambut kepulangan suaminya malam itu dengan wajah gembira seperti tidak ada masalah.
Kepulangan Abu Thalhah betul-betul disambut dengan gembira, saat ia bertanya tentang keadaan anaknya, iapun menjawab bahwa sang anak sedang beristirahat, bahkan lebih tenang dari biasanya. Abu Thalhah tentu merasa bersyukur. Makan malam yang lezat sudah dihidangkan oleh isteri yang amat dicintainya, bahkan sesudah makan malam selesai, sang isteri dengan wajahnya yang bersinar, bahkan nampak lebih cantik dari biasanya mengajaknya bercengkrama dengannya sehingga Abu Thalhah melakukan hubungan suami isteri dengan kepuasan tersendiri.
Setelah sang suami isteri ini merengkuh kepuasan dan kebahagiaan malam itu, Rumaisah tiba-tiba bertanya kepada suaminya:
“Bila ada orang menitipkan sesuatu kepada kita, sesuatu itu milik kita atau bukan, padahal kita amat menyenangi sesuatu itu?”.
“Tentu bukan”, jawab Abu Thalhah.
Rumaisah melanjutkan pertanyaannya:
“Bila sesuatu itu diambil oleh yang punya bagaimana?”.
“Tidak apa-apa, hak orang itu untuk mengambilnya karena memang hal itu miliknya”, jawab sang suami.
“Bila sesuatu itu adalah anak kita, anak itu milik kita atau titipan?”.
Tanya Rumaisah lagi.

Sampai disini, Abu Thalhah merasa ada yang aneh dengan pertanyaan isterinya itu. Karenanya ia bertanya: “Apa sebenarnya maksud pertanyaanmu itu?”.
“Kalau kita menyadari bahwa anak kita adalah titipan Allah swt, maka Allah swt telah mengambilnya, ia telah wafat menjelang maghrib tadi”,
jawab Rumaisah.

Meskipun kalimat itu diucapkan sedemikian pelan dan hati-hati, hal itu telah menggetarkan hati Abu Thalhah. Menyadari kematian sang anak yang dicintai membuatnya menjadi diam dan sedih serta termenung memikirkan kejadian  hari itu. BILA SANG ISTERI BERKATA APA ADANYA SEJAK KEPULANGANNYA, TIDAK MUNGKIN IA HARUS BERSENANG-SENANG DENGAN MAKAN YANG LEZAT DAN MELAKUKAN HUBUNGAN SUAMI ISTERI.NAMUN, IA MENJADI SEMAKIN CINTA DAN BANGGA KEPADA SANG ISTERI ATAS KECERDASAN HATI DAN PIKIRANNYA ATAS PERISTIWA INI. “ISTERIKU TERNYATA TELAH BERBUAT SESUATU YANG PATUT DITELADANI”, PIKIRNYA MESKIPUN IA HAMPIR TIDAK PERCAYA DENGAN APA YANG DIALAMINYA.
Setelah jenazah sang anak diurus dengan baik. Abu Thalhah merenung atas kekagumannya kepada sang isteri, ia merasa sebagai seorang suami amat tertinggal dengan isterinya dalam menyikapi sesuatu. Ia ingin berusaha untuk menjadi lebih baik dari isterinya. Maka iapun datang kepada Rasulullah saw dan menceritakan peristiwa yang sesungguhnya terjadi.
Mendengar cerita Abu Thalhah, Rasulullah saw nampak sangat antusias, wajahnya nampak begitu gembira dengan cerita tentang keadaan umatnya yang mengagumkan. Karenanya sesudah mendengar cerita itu, Rasulullah saw mendo’akan agar Allah swt memberkati malam-malam berikutnya suami isteri yang tabah itu.
Kejadian ini menjadi cerita yang tersebar luas di Madinah, para suami isteri ingin memiliki ketabahan, kesabaran dan kesungguhan seperti Abu Thalhah dan Rumaisah ini. Harapan Rasulullah saw ternyata menjadi kenyataan. Suami isteri yang mulia ini dikarunia anak-anak yang tidak hanya satu, tapi tujuh anak yang mudah dididik dan dibina menjadi anak yang shaleh, bahkan anak-anak inipun menjadi penghafal Al-Qur’an yang mengagumkan.

Kaum perempuan .... tak ada satupun laki-laki yang tidak menginginkan istrinya atau calon istrinya seperti Rumaisah, CINTA seorang lelaki tak akan perpaling sedikitpun jika Istrinya atau calon istrinya seperti Rumaisah, kecuali Lelaki itu BODOH.
Jadilah Rumaisah, kita akan serasa tinggal di SORGA sebelum SORGA HAQIQI ***
»»  READMORE...

Pesan Buat Istri dan Anak-anak Perempuan KU

Sedikit bahan renungan bagi istri dan anak-anak perempuan ku disini, kenapa saya lakukan ini ? karena saya sayang dan mencintai kalian semua.
Bismillaahirrahmaanirrahiim ....
Satu Peringatan sebenarnya untuk Semua Muslimah...
Mari kita Renungkan bersama... Fikir-fikirkan bersama...
Jika Satu Hari nanti kita Mati,
Akun Facebook ini hanya Kita yang Tahu Passwordnya. . .
Hanya kita yang Boleh/Bisa Access..
Dan Selepas kita Mati..
Apa yang akan Terjadi pada Akun facebook kita ?!
Mungkin Ada yang akan
Ucapkan Takziah. . .
Mungkin Ada yang Selalu
Menjenguk sebagai Obat Rindu. . .
T E T A P I ...
Sadarkah Kita
Gambar-Gambar / Foto-foto kita..
Akan terus Membuatkan kita
Tersiksa di Alam Kubur ?!
Gambar-Gambar / Foto-foto yang
Tidak ditutupi Aurat dengan
Sempurna Bagaimana nanti ?!
Para Lelaki Terus-terusan Melihat dalam Waktu yang Sama, karena Siapapun boleh Nge-Tag pada Gambar-gambar / Foto-foto kita itu...
Walau sudah Bertahun-tahun kita Mati, Gambar itu terus ada..
Saham Dosa terus Meningkat..
Bagaimana ?!
Pernah Terfikir Tidak ?!
Kerudung Singkat yang Dipakai itu, Akankah Menyelamatkan kita
dalam Kubur nanti...?!
Legging dan Jeans Ketat,
Bisakah menyelamatkan kita...?!
Baju yang Membalut Aurat itu, Bagaimana. . . ?!
Mungkin kini kita masih Merasa
Tak Sabar ingin Berbagi
Cerita dengan Gambar-gambar
/ Foto-foto yang Cantik,
Tempat-tempat yang Kita
sudah Lewati di muka Bumi-Nya...
Tapi di Akhirnya nanti..
Semua itu Tidak akan
Membawa Arti . . .
Semuanya Hanya Tinggal
Kenangan bagi yang Masih Hidup. . .
Di Alam Kubur, Semua itu tidak Sedikipun Menyelamatkan Kita. . .
Mari kita Renungkan,...
Saham Dosa yang terus Meningkat. . .
walau Setelah Ketiadaan kita
di Muka Bumi sehingga Hari Akhirat...
Tutupilah Auratmu sebelum
Auratmu Ditutupi Kain Kafan...??
Peliharalah Dirimu sebelum
Dirimu di Kafankan. . .
Jagalah Maruah / Kehormatan Diri sebagai Seorang Muslimah...
Mati itu pasti...
Persiapkan Diri untuk Mati itu Perlu. . .
Penjelasan :
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Aku melihat ke dalam Surga maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas dan Imran serta selain keduanya)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan tentang wanita penduduk neraka, beliau bersabda :“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka karena sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti punuk onta. Mereka tidak masuk Surga dan tidak mendapatkan wanginya Surga padahal wanginya bisa didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)
Dari Imran bin Husain dia berkata, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Sesungguhnya penduduk surga yang paling sedikit adalah wanita.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Imam Qurthubi rahimahullah mengomentari hadits di atas dengan pernyataannya :
“Penyebab sedikitnya kaum wanita yang masuk Surga adalah hawa nafsu yang mendominasi pada diri mereka, kecondongan mereka kepada kesenangan-kesenangan dunia, dan berpaling dari akhirat karena kurangnya akal mereka dan mudahnya mereka untuk tertipu dengan kesenangan-kesenangan dunia yang menyebabkan mereka lemah untuk beramal. Kemudian mereka juga sebab yang paling kuat untuk memalingkan kaum pria dari akhirat dikarenakan adanya hawa nafsu dalam diri mereka, kebanyakan dari mereka memalingkan diri-diri mereka dan selain mereka dari akhirat, cepat tertipu jika diajak kepada penyelewengan terhadap agama dan sulit menerima jika diajak kepada akhirat.” (Jahannam Ahwaluha wa Ahluha halaman 29-30 dan At Tadzkirah halaman 369)
Istri dan anak-anak perempuanku … .
Jika kita melihat keterangan dan hadits di atas dengan seksama, niscaya kita akan dapati beberapa sebab yang menjerumuskan kaum wanita ke dalam neraka bahkan menjadi mayoritas penduduknya dan yang menyebabkan mereka menjadi golongan minoritas dari penghuni Surga.
Bukan bermaksud menakut nakuti, hanya sekedar mengingatkan hakikat dan identitas wanita muslim.Wanita di ciptakan oleh ALLAH SWT dengan sebaik2 nya dan di beri istilah sebagai perhiasan dunia.
Kalian lah Makhluk yang paling ALLAH KASIHI, ALLAH SANGAT MENCINTAI KEINDAHAN.
Jagalah keindahan itu, jangan di rusak dan di pertontonkan atau MURKA ALLAH mendekati kalian ingatlah bahwa ALLAH SWT meletakkan kalian sebagai TANDA-TANDA AKHIR JAMAN (KIAMAT)
»»  READMORE...